Batik Tulis

Batik Tulis merupakan salah satu kekayaan budaya indonesia yang wajib kita lestarikan agar tidak dicuri oleh bangsa lain. Lasem merupakan bagian dari kota Rembang yang ikut melestarikan budaya batik tulis dimana orang menyebutnya "BATIK TULIS LASEM".

learn more

Tulip Bulbs

Donec gravida posuere arcu. Nulla facilisi. Phasellus imperdiet. Vestibulum at metus. Integer euismod. Nullam placerat rhoncus sapien. Ut euismod. Praesent libero. Morbi pellentesque libero sit amet ante. Maecenas tellus.

learn more

Garden Gloves

Donec gravida posuere arcu. Nulla facilisi. Phasellus imperdiet. Vestibulum at metus. Integer euismod. Nullam placerat rhoncus sapien. Ut euismod. Praesent libero. Morbi pellentesque libero sit amet ante. Maecenas tellus.

learn more

Saturday, October 8, 2011

SEJARAH BATIK LASEM



Bila orang menyebut batik Jawa Tengah tentu segera menyebut Solo, Jogja, Pekalongan dan Banyumas sebagai sentra perajin batik. Padahal selain empat daerah tadi masih ada daerah lain yang juga menghasilkan batik tulis yang tidak kalah indahnya, yaitu Lasem. Di kota Lasem inilah sehat dengan reiki bersama teman-teman kerabat kerja produksi film,  28 tahun silam bertepatan dengan bulan puasa 1981, berkunjung dan menyapa penduduk di sini sekaligus melakukan liputan film akhir pekan untuk program televisi nasional  dengan lokasi full kota Rembang  Lasem dan sekitarnya.
Namun dalam kunjungan kedua kalinya saat ini, yang bisa saya saksikan dari Kota Lasem adalah tetap terpeliharanya warisan budaya Etnis China dengan koleksi rumah kunonya berjajar berhadap-hadapan di seluruh pelosok kota. Masing-masing rumah kuno ini dipagari oleh tembok tinggi yang mengelilingi bangunan utama terbuat dari batu bata dengan pintu gerbang tebal dari kayu jati kuno.
Kota kecamatan Lasem terletak 12 km arah timur Ibukota Kabupaten Rembang berbatasan dengan Laut Jawa sebelah Utara luasnya 45,04 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 44.879 orang ( Litbang Kompas, 2003 ). Di kota ini juga terdapat sentra industri batik kendatipun tidak setenar batik produksi Solo atau Jogja atau Pekalongan. Namun kehadiran Batik Lasem merupakan kebanggaan sendiri bagi penduduk kota nelayan ini.
Batik produksi Lasem bercorak khas dengan warna merah darah ayam yang katanya tidak dapat ditiru oleh pembatik dari daerah lain. Kekhasan lain Batik Lasem ini terletak pada coraknya yang merupakan gabungan pengaruh budaya Tionghoa, budaya lokal masyarakat pesisir utara Jawa Tengah serta Budaya Keraton Solo dan Yogyakarta. Konon para pedagang Tionghoa perantauan yang datang ke Lasem memberi pengaruh terhadap corak batik di daerah ini. Bahkan banyak pedagang ini yang kemudian beralih menjadi pengusaha batik di kota Lasem ini.
Menurut sejarah industri batik nusantara kehadiran batik Lasem ini sudah ada sejak berabad silam, sempat menjadi komoditi di Asia dan sempat mengharumkan kota Rembang. Awalnya batik Lasem ini menjadi batik Encim, batik yang dipakai oleh wanita keturunan Tionghoa yang berusia lanjut. Pengaruh keraton juga ikut mewarnai corak,motif dan ragam batik tulis Lasem ini. Terbukti dengan adanya motif/ornamen kawung dan parang.
Pengaruh budaya China terasa kental di sini. Sedang pengaruh masyarakat pesisir utara terlihat pada kombinasi warna cerah merah, biru,kuning dan hijau.Ketika membuat desain motif batik tulis para pengusaha batik Lasem sangat dipengaruhi budaya leluhur mereka seperti kepercayaan dan legendanya. Misalnya terdapat corak ragam hias burung Hong dan binatang legendaris kilin atau singa.
Bahkan cerita klasik Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tey pernah menjadi motif batik tulis Lasem ini. Oleh karena itu batik tulis Lasem ini kemudian dikenal sebagai batik Encim tadi. Batik Lasem bisa bersaing dengan batik Solo karena motifnya yang unik dan pernah diekspor ke Suriname. Namun saat Anda datang ke Lasem dan mencari batik tulis Lasem akan mengalami kesulitan bagaikan mencari barang antik saja.

Sejarah Panjang

Mampu bertahannya batik tulis Lasem, tak lepas dari sejarah panjang dan keunikan motifnya. Menurut catatan sejarah Babad Lasem, batik tulis Lasem kali pertama dirintis oleh putri Na Li Ni, istri Bi Nang Un, salah seorang nakhoda kapal dalam armada Laksamana Ceng Ho pada 1413 M.  Kehadiran seorang saudagar minuman keras, yang juga ahli seni lukis dan kaligrafi, pada 1960-an, konon menjadikan batik tulis Lasem terus berkembang. ”Ia yang mengajari orang China menjadi pengusaha dan teknik kaligrafi pada warga pribumi yang menjadi pekerja batik,”  tutur Sigit Witjaksono (82), pengusaha batik tulis cap Sekar Kencana.
Silang budaya warga China dan pribumi pun menjadikan batik tulis Lasem semakin kaya motif. Motif yang dipengaruhi budaya China di antaranya jenis fauna burung hong, peksi huk, naga (liong), kilin, ayam hutan, ikan emas, kijang, kelelawar, kupu-kupu, kura-kura, ular, udang dan kepiting, serta motif flora seperti bunga seruni, teratai.Sementara motif lokal seperti latohan dan watu pecah memberi warna tersendiri pada perkembangan motif batik Lasem. Motif latohan terinspirasi dari tanaman semacam rumput laut yang kala itu banyak dijumpai di daerah pesisir. Sementara motif watu pecah atau kricak merupakan ekspresi kejengkelan pribumi yang dipaksa Belanda untuk bekerja tanpa upah saat pembuatan jalan Pos Anyer-Panarukan.
Adapun motif Jawa yang memengaruhi batik Lasem terlihat dari motif geometris khas batik kerajaan (vorstenlanden) yang berkembang di Solo dan Yogyakarta, Bayumas dan Cirebon. ”Semakin meluasnya pasar batik Lasem, memaksa pengusaha berkelana hingga ke daerah. Perjalanan dagang ini kemudian membawa pengaruh pada motif batik pesisiran Lasem,” jelasnya.
Meski saling terpengaruh, batik tulis Lasem memiliki kekhasan pada pewarnaannya. Perbedaan mencolok batik Lasem terlihat pada warna merah darah ayam, biron (biru tua) dan hijau tua. Pewarnaan ini menjadi rahasia masing-masing keluarga pembatik, sehingga warna satu pembatik dengan lainnya bisa berbeda.Warna merah darah ini membuat penasaran banyak pengusaha batik di luar Lasem. Bahkan karena tak bisa membuat warna merah itu, banyak pengusaha batik yang terpaksa membeli blangko (batik setengah jadi) untuk diteruskan di daerah asal.

”Menurut seorang profesor Jepang yang pernah saya temui, warna merah khas ini dipengaruhi sumber air di Lasem yang mengandung senyawa mineral yang jika dipersenyawakan dengan cat warna merah bisa mengeluarkan warna merah darah. Ini yang tidak ada di kota lain,” ujarny.
Masyarakat Sejarawan Indonesia Kabupaten Rembang menyatakan bahwa motif dan warna batik tulis Lasem yang dominan dengan warna merah, sejatinya merupakan pertautan antara budaya Tionghoa dan Jawa. "Dari selembar batik Lasem, tersimpan kisah tentang ada pembauran etnis dan budaya," kata Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Kabupaten Rembang, Edy Winarno, Selasa.

Menurut Edy, batik tulis Lasem ada sejak kedatangan Laksamana Cheng Ho sekitar tahun 1413. Saat itu, batik tulis Lasem sudah mendapat tempat penting di sektor perdagangan. Para saudagar mengirim batik Lasem ke berbagai pulau di Nusantara.
Batik tulis Lasem juga masih berjaya hingga era 1970-an bersama lima daerah penghasil produk batik lainnya di Indonesia, yakni Surakarta, Cirebon, Yogyakarta, Pekalongan, dan Banyumas.
Njoe Tjoen Hian alias Sigit Witjaksono, salah seorang pemerhati sejarah Lasem yang juga perajin batik tulis berasal dari Desa Babagan Kecamatan Lasem menuturkan dulu pemasaran batik Lasem tidak hanya di Jawa, tetapi juga merambah Sumatera, Bali, Sulawesi, Semenanjung Malaka (Pulau Penang, Johor dan Singapura, red.), wilayah Asia Timur (terutama Jepang), bahkan Suriname.
"Suriname termasuk yang terbanyak. Dulu, hampir tiap bulan ayah kami mengirim batik hingga 500 lembar kain," katanya.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kabupaten Rembang Edy Winarno menambahkan Lasem bukan sekadar batik. Sebab, ketika terjadi geger China pada 1740, Lasem menjadi titik pusat perlawanan China terhadap Belanda.
"Perlawanan itu dipimpin Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat), Raden Panji Margono dan Tan Kee Wie," katanya.
Lasem juga dikenal sebagai titik penyelundupan senjata api dari Singapura.
Perpaduan Islam – China
Menurut dia, berdasarkan catatan Pramoedya Ananta Toer, senjata dipasok kepada pelarian wanita bangsawan keraton di Rembang, yang selanjutnya dikirim ke pasukan Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa I pada tahun 1825-1830.
Tidak hanya itu. Lasem juga menjadi saksi perpaduan budaya Islam dengan budaya China. "Adalah Bi Nang Un, seorang China Muslim bermashab Hanafi, utusan Dinasti Ming yang berasal dari wilayah Yunan yang mengajarkan Islam. Ia kemudian mendirikan perkampungan China di Lasem. Baru setelah itu, gelombang kedatangan orang China berikutnya didominasi orang Hokkian yang menganut agama Kong Hu Cu," kata Edy.
Bukti perpaduan budaya Jawa-Tionghoa, budaya Islam-Tionghoa, dan prasasti pergerakan melawan penjajah mengupayakan kemerdekaan bisa dirunut dari kisah perjuangan Raden Ngabehi Widyadiningrat (Oey Ing Kiat), seorang Adipati Lasem (1727-1743) dan Mayor Lasem (1743-175), Raden Panji Margono, Putra Tejakusuma V, Adipati Lasem (1714-1727), yang seorang pribumi dan Tan Kee We, seorang pendekar kungfu dan pengusaha di Lasem.
Pengaruh budaya China pun terasa mendominasi pada banyak segi kehidupan di kota dengan luas 4.504 hektare dan dihuni sekitar 50.000 jiwa itu. Banyak peninggalan bangunan tua yang sudah berusia ratusan tahun. Rumah-rumah tua berarsitektur China, sebagian telah kosong dengan kulit mulai terkelupas dan ditumbuhi lumut hijau.
"Karena sejumlah keunikan itu, seorang peneliti Eropa menyebut Lasem sebagai 'The Little Beijing Old Town'. Sementara peneliti Perancis menjuluki Lasem 'Le Petit Chinois', keduanya bermakna China Kecil," katanya.
Pengasuh Pondok Pesantren Kauman Lasem KH Zaim Ahmad Ma'shoem (Gus Zaim) menyebutkan, pembauran etnis di Lasem telah menelurkan proses asimiliasi dan akulturasi budaya yang saling memengaruhi. Ia mencontohkan, rumah warga China di Lasem tak murni berarsitektur China.
"Tingginya nilai toleransi antar warga ini lah yang kemudian menjadikan kehidupan antar beragama menjadi berkembang," katanya.
Kepala Seksi Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid pada Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Rembang Hj Ruchbah menyebutkan, meski warga Lasem memiliki cukup banyak etnis Tionghoa, jumlah pondok pesantren di wilayah itu justru terus bertambah.
Ia menyebutkan hingga 2011, tercatat ada sebanyak 23 pondok pesantren yang menampung ribuan santri lokal, luar Rembang bahkan luar Pulau Jawa.
"Bagi pendatang yang baru kali pertama berkunjung ke Lasem, dimungkinkan akan sulit membedakan mana warga keturunan Tionghoa dan pribumi. Sebab, semua sudah membaur," katanya.

Tambahkan Keranjang

0 comments:

Post a Comment

 

BEBERAPA PRODUK YANG ADA PADA KAMI

ads ads ads ads ads ads ads ads ads ads ads ads ads ads

Copyright 2009 All Rights Reserved : Batik Tulis Lasem: SEJARAH BATIK LASEM | by AULIA SUHAIMINUR | Top
Thanks for : BLOGGER | PHOTOBUCKET | PICASSA